Kisah Perempuan dalam Review Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga

Saya membaca novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga setelah mendengarkan obrolan di podcastnya Leila S Chudori. Sembari memasak, obrolan Leila dengan Lily Yulianti Farid rasanya membuat saya ingin segera mencari buku tersebut. Menggelitik. Bukunya berbicara tentang perempuan, sulawesi, dan bagaimana cengkeh menghidupi mereka. 


Ssst, ada cuplikan cerita tentang beratnya penjualan cengkeh pada masa orde baru juga, lho.


Langsung saja setelah masak usai. Sembari menyiapkan sarapan pagi, saya coba buka store di Gramedia Digital, berharap banget bukunya ada di sana. Daaan, alhamdulillahnya ada. Yeay!





Buku karya Erni Aladjai dari Sulawesi


Semenjak bertemu dan kenal lebih dekat dengan teman-teman dari Sulawesi, terutama Makassar, saya merasa ingin lebih akrab dengan kehidupan di sana. Beberapa ceritanya yang masih erat dengan mistis serta makanannya yang banyak cocok dengan lidah saya membuat saya penasaran sekali untuk berkunjung ke sana. 


Lewat buku karya Erni Aladjai inilah akhirnya saya berkenalan lebih akrab dengan kehidupan Sulawesi di masa lalu. Erni meracik ceritanya dengan sangat detail. Bahkan membuat saya sempat merinding dan takjub saat Erni menuturkan tentang kisah horor di sana. Tapi pesan-pesan tentang penjagaan lingkungan menurut saya masih relate dan perlu sekali untuk kita lestarikan.


Tak pelak, buku ini pun mendapatkan penghargaan sebagai pemenang ketiga sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019. Bisa dikatakan, ini merupakan novel etnografis yang erat dengan budaya masyarakat dan permasalahan yang melingkupinya.


Kisah tentang Haniah dan Ala di rumah Teteruga


Yup, dilihat dari judulnya saja sudah mengarah pada dua nama itu ya, Haniyah dan Ala. Haniyah adalah ibu dari Ala, anak perempuannya yang tinggal di rumah Teteruga. Ini adalah rumah warisan orangtuanya Haniyah yang bentuknya cukup luas dengan kebun cengkeh di bagian belakangnya.


Mereka hanya berdua. Ayahnya Ala sudah meninggal ketika Ala masih kecil. Haniyah pun menghidupi keluarganya dengan warisan pohon cengkeh di kebun yang sangat luas. Kehidupan mereka sangat terpenuhi dari penghasilan cengkeh tersebut.


Kehidupan Ala lah yang lebih banyak menjadi pusat cerita dalam buku ini. Dia adalah anak perempuan yang memiliki mata juling dengan masa-masa pubertas yang sulit untuk ia hadapi.



Juling dan pubertas menjadi masalah. Dia dikucilkan oleh teman-temannya di sekolah karena juling. Saat menstruasi datang, dia pun semakin merasa takut untuk sekolah. Apalagi, wali kelasnya sangat tidak suportif. Bukannya melindungi dan mendukung, malah makin menyudutkannya.


Ala pun jadi benci sekolah.


Dalam kemalasannya untuk berangkat ke sekolah, justru ia bertemu dekat dengan sosok bapak yang dijauhi warga sana karena huru-hara masa lalunya. Saat itu pula ia bertemu dengan arwah gentangan bernama Ido. Ia dulunya adalah penghuni rumah teteruga tersebut. Seru sekaligus horor sih kisah mereka berdua ini. Bahkan dari pertemuan Ala dan arwah Ido ini mereka sampai menemukan sebuah kuburan di rumah tersebut. Kuburan siapa coba? Baca aja ya kalau penasaran. Hihi


Cengkeh menjadi akrab dengan kehidupan masyarakat di sana. Ala paling senang saat panen, rumah jadi ramai karena banyak orang yang ikut membantu ibunya bekerja.


Haniyah mendidiknya Ala dalam diam. Tidak begitu banyak omelan yang dilontarkan. Namun untuk urusan alam, ia sering sekali mengingatkan Ala tentang pentingnya mengurus dan menyayangi alam.


'Kau tahu, benda-benda mati, sesungguhnya tidak benar-benar mati. Bubungan, kayu kasau, atap, lantai papan, semuanya 'bernyawa'. Mereka bertahan, sementara kita yang hidup biasanya rapuh dan berakhir... '


Ibunya bilang bahwa kita harus menganggap benda mati itu sebagai benda hidup. Artinya, kita tidak boleh memperlakukan mereka semena-mena. Itu juga ajaran dari Ibunya Haniah dulu. Karenanya, sang ibu sering sekali mengingatkannya untuk lebih berhati-hati dalam bersikap dan peduli pada lingkungannya.


Kesan dari Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga


Saya sangat terkesima dengan penuturan Erni Aladjai mengisahkan tentang Haniah dan Ala ini. Kehidupan mereka cukup akrab juga dengan kita. Apalagi tentang perundungan yang terjadi pada Ala. Bahkan sekarang pun masih banyak terjadi ya.


Pengisahan tentang perempuan mandiri jelas digambarkan dengan detail di sini. Perempuan dan alam pun tak pernah terpisahkan dikisahkan dalam cerita ini.


Dari novel ini, saya mendapati beberapa kesan seperti pentingnya menghargai lingkungan, menjadi perempuan mandiri, pentingnya menghargai diri sendiri, serta berani berteman dengan siapa saja.



Ditulis saat hujan salju turun di awal musim semi


Blekerstraat, 31 Maret 2022



Salam,

Neenarahma



Komentar